Posted by:
Published :2016-03-31T23:25:00+07:00
Menkes tegaskan iuran JKN kelas III tidak dinaikkan
Info kesehatan alami natural herbal terbaru, obat penyakit
| Ilustrasi penyakit batu empedu ©Shutterstock |
Baca juga : Cara Mengobati Batu Ginjal yang BerbahayaMaka dari itu penyakit seperti ini harus segera diatasi, jangan dibiarkan batu empedu tersebut akan menjadi semakin membesar. Jika sudah terlalu besar, akan sangat sulit untuk disembuhkan. Harus dilakukan operasi untuk mengangkat batu empedu tersebut.
Baca juga : Ini Dia, Manfaat Buah Apel Untuk Kesehatan
Baca juga : Tips Ampuh Hilangkan Flek Hitam Di wajah Dengan Lemon
Menurut peneliti, masalah kehamilan pada perempuan dengan PCOS masih bisa dialami meskipun yang bersangkutan telah menjaga berat badan normalnya. Disebutkan perempuan dengan PCOS memiliki risiko lebih dari 70 persen mengalami keguguran ketimbang perempuan lain dengan usia sama yang tidak memiliki PCOS. Selain itu PCOS juga dikaitkan dengan lebih banyak komplikasi pada ibu dan janinnya.
Menurut dr Aled Rees, seorang peneliti endokrinologi di School of Medicine di Cardiff University, Inggris, beberapa kondisi yang bisa dialami perempuan dengan PCOS antara lain diabetes saat hamil, tekanan darah tinggi, serta kelahiran prematur.
"Bayi yang lahir dari ibu dengan PCOS memiliki peningkatan risiko penyakit kuning dan komplikasi pernapasan," kata dr Rees. Demikian dikutip dari Reuters.
Baca juga: Tak Kunjung Hamil karena PCOS, Emma Perlakukan Boneka Seperti Anaknya
dr Rees dan rekan-rekannya menguji data pasien di Inggris. Yang diperbandingkan adalah data ibu hamil dengan PCOS dan yang tidak memiliki PCOS. Dari data, PCOS dikaitkan dengan risiko tekanan darah tinggi selama kehamilan yang besarnya 32 persen lebih tinggi, juga risiko 41 persen lebih tinggi mengalami diabetes gestasional. Selain itu ada kemungkinan 25 persen lebih tinggi mengalami kelahiran prematur.
Hampir 28 persen ibu hamil dengan PCOS dikirim ke bagian bedah pada saat persalinan. Sedangkan perempuan tanpa PCOS yang dikirim ke bagian bedah saat melahirkan, jumlahnya sedikit lebih rendah yakni 24 persen.
Sementara bayi yang lahir dari ibu dengan PCOS memiliki peluang 20 persen lebih tinggi terkena penyakit kuning dan masalah pernapasan.
Meski ada risiko, tapi perempuan dengan PCOS tidak perlu panik berlebihan saat menjalani kehamilannya. Menurut dr Richard Legro dari Pennsylvania State College of Medicine di Hershey, tingkat komplikasi bervariasi. Selain itu komplikasi yang demikian parah masih tergolong jarang. Baik ibu hamil dengan PCOS ataupun yang tidak, sama-sama perlu menjaga kehamilannya dengan baik, termasuk menjaga asupan dan rajin kontrol kondisi kehamilannya.
Baca juga: Siklus Haid Tidak Teratur? Bisa Jadi Gara-gara Berat Badan Berlebih(vit/up)
Seperti disampaikan oleh Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, dr H.M Subuh, MPPM, bahwa saat ini masih banyak orang yang enggan cek kesehatan sedini mungkin. Mereka justru barubmau ke dokter saat komplikasi sudah muncul.
"Dua pertiga pasien itu tidak tahu kalau dirinya kena diabetes. Padahal cek kesehatan rutin itu sangat dianjurkan," tutur Subuh dalam temu media di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2016).
Baca juga: Tidur Siang Lebih dari 40 Menit, Risiko Sindrom Metabolik Meningkat
Ia melanjutkan, menanggapi masalah ini pihaknya akan meningkatkan akses masyarakat agar bisa lebih mudah memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. Menurutnya, kesadaran masyarakat bisa terbangun jika lingkungan juga mendukung.
"Bagaimana tidak mau diabetes, naik pesawat disediakan permen manis, di hotel juga. Bangun gedung tangganya disembunyikan, yang diperlihatkan malah lift-nya. Masyarakat jadi berisiko tinggi. Komplikasi diabetes itu dari ujung kepala sampai kaki lho," terangnya.
Ditambahkan oleh dr Em Yunir, SpPD dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, bahwa ketidaksadaran masyarakat untuk cek kesehatan menjadi kunci mengapa diabetes tak bisa dikendalikan.
"Perlu diluruskan, tahu penyakit sejak awal membuat pengobatan lebih baik, bukannya malah bikin repot seperti yang orang-orang pikir," imbuh dr Yunir.
Baca juga: Diabetes Tipe 2 Mengintai Remaja yang Kekurangan Jam Tidur(ajg/up)
Professor Bruce Campbell dari Royal Devon and Exeter Hospital mengatakan serangan stroke yang tak ditangani dengan cepat dapat menyebabkan kematian. Jikapun selamat, otak penderitanya mengalami kehilangan sel aktif dalam jumlah besar, kurang lebih dua juta sel per menit.
"Saat stroke menyerang, orang mungkin akan merasa lengannya mati rasa karena salah posisi tidur dan sebagainya. Padahal lengan yang mati rasa menandakan kematian dua sel yang ada di otak," tutur Prof Campbell, dikutip dari ABC Australia, Kamis (31/3/2016).
Baca juga: Sebatang Jarum Bersarang di Jantung, Wanita Ini Terserang Stroke
Dijelaskan Prof Campbell, sebagian besar stroke disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di otak. Hal ini menyebabkan tekanan yang besar pada pembuluh darah dan bisa mengakibatkan pembuluh darah pecah dan perdarahan di otak.
Di saat yang sama, bagian tubuh selain otak akan terpengaruh. Gejala pertama akan terlihat di wajah, di mana separuh bagian wajah akan terlihat turun atau seperti meleleh dan tidak simetris.
Setelah itu, pasien stroke akan kesulitan mengangkat atau kehilangan kekuatan di sebelah tangannya. Selanjutnya, otot sekitar mulut akan ikut terpengaruh dan membuat seseorang sulit bicara.
Prof Campbell mengatakan prinsip ini merupakan standar pertolongan pertama pasien serangan stroke. Prinsip ini dikenal sebagai FAST yang terdiri dari Face (wajah turun), Arms (lengan tak bisa bergerak), Speech (kemampuan bicara terganggu) dan Time (waktu pertolongan).
"Time merupakan faktor penting karena pasien stroke bisa tak kehilangan nyawa jika pertolongan datang dengan cepat. Tekan tombol darurat dan hubungi ambulans untuk membawa pasien ke rumah sakit terdekat," pungkasnya.
Baca juga: Saat Olahraga Sudah Berlebih, Jantung Malah Bisa 'Keracunan'(mrs/up)
Psikiater anak dan remaja di Klinik Tumbuh Kembang & Edukasi Terpadu RS Pondok Indah, dr Ika Widyawati SpKJ(K) mengatakan pada dasarnya otak memiliki cabang yang nantinya terhubung dengan cabang lain guna menyampaikan impuls. Namun, di antara cabang otak tersebut masih ada celah yang diisi oleh neurotransmitter, salah satunya dopamin.
"Jumlah dan macam neurotransmitter ini belum ditemukan semua. Tapi, pada anak autisme salah satunya diketahui bahwa kadar dopaminnya berlebihan yang mengakibatkan terhambatnya penyampaian impuls," terang dr Ika dalam temu media di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2016).
Nah, ketika pemberian obat bisa memperbaiki kondisi di otak, maka dosis obat yang diberikan bakal diturunkan. Sehingga, menurut dr Ika pada anak autisme prinsipnya konsumsi obat tidak seumur hidup. Lagipula, perlu diingat bahwa tidak semua pasien harus diberi terapi obat karena tergantung dari masing-masing kondisinya.
Baca juga: Terapi Anak Autisme dengan Yoga, Bisakah?
Untuk mengetahui progres anak, memang tidak ada deteksi melalui pemeriksaan laboratorium tetapi bisa dilakukan deteksi secara klinis. Jika setelah diberi terapi, anak menunjukkan kemajuan seperti saat dipanggil ia mulai menengok dan sudah mulai bisa menunjuk ke objek yang jauh maka dosis obat oral tersebut bisa diturunkan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada anak autisme, gangguan yang terjadi di otak bisa pada amygdala yang berguna mengatur emosi, dan ada pula yang menunjukkan gangguan pada hippocampus yang berguna untuk proses belajar. Sehingga, agar anak bisa tumbuh dengan optimal, dukunan dari orang tua serta terapi yang ajeg amat diperlukan.
"Kalau kondisi ekonomi keluarga kurang, sekarang kan ada BPJS. Itu meringankan lho. Untuk sekolah, asal anak bisa bicara dan IQ-nya tidak terlalu rendah bisa dimasukkan ke sekolah negeri. Kalau tidak ya kita masukkan ke Sekolah Luar Biasa memang. Patut diingat ketika anak sekolah lalu dia merasa dimanusiakan dan mendapat perlakuan baik dari sekitarnya, kondisinya pasti jauh lebih baik," tutur dr Ika.
Untuk anak sampai usia 3 tahun, dr Ika secara pribadi lebih memilih menggunakan istilah Multi System Development Disorder (MSDD) ketimbang Gangguan Spektrum Autistik (GSA). Sebab, dengan memberi cap autisme pada seorang anak sejak kecil, orang tua bisa tidak semangat lagi untuk memberi tatalaksana bagi buah hatinya.
"Autistik itu kan derajatnya berbeda. Semakin dini kita tangani, hasilnya semakin bagus. Misal anak hanya terlambat bicara saja atau ada gangguan pada konsentrasinya, setelah diterapi sudah oke, jadi nggak perlu kita langsung beri label anak autisme," kata dr Ika.
Baca juga: Definisi Autis Dipersempit, akan Banyak Pasien Tak Masuk Kriteria(rdn/up)
[unable to retrieve full-text content]
Kondisi dua orang penerima atau recipient dilaporkan telah membaik. Salah satu di antaranya mendapatkan transplantasi ginjal, dan yang satu lagi mendapatkan transplantasi hati. Kedua organ berasal dari jenazah seorang donor yang sama-sama mengidap HIV.
Sebelumnya, tim dokter di Afrika Selatan juga pernah sukses mencangkokkan ginjal dari dan ke sesama pengidap HIV. Namun untuk transplantasi hati, diklaim kesuksesan tim dokter di Amerika Serikat adalah yang pertama kalinya di dunia.
"Ini bisa berarti kesempatan baru untuk kehidupan," kata Dr Dorry Segev, pakar transplantasi organ yang menangani kasus ini, dikutip dari Foxnews, Kamis (31/3/2016).
Baca juga: Sudah Minum Obat Penangkal, Pria Ini Tetap Tertular HIV Strain Langka
Keberhasilan transplantasi ini diyakini sebagai dampak positif dari kemajuan teknologi pengobatan HIV. Dari yang semula membunuh dengan cepat, menjadi penyakit kronis yang punya harapan hidup lebih lama sebelum fungsi organ di tubuhnya mengalami gangguan.
Diperkirakan 100.000 orang di AS ada dalam daftar antrean menunggu donor organ, khususnya ginjal. Ribuan di antaranya meninggal dalam penantian. Di sisi lain, 300-500 calon donor yang ternyata mengidap HIV meninggal tiap tahun. Jika transplantasi dari dan ke pengidap HIV bisa dilakukan, maka setidaknya bisa mengurangi masa tunggu.
Baca juga: Studi Temukan 'Cincin' Vagina yang Bisa Mencegah Penularan HIV(up/up)
"Jeruk nipis (citrus aurantifolia) memang mengandung minyak atsiri dan zat yang mampu mengendalikan otot pernapasan sehingga membantu saat batuk menyerang. Namun hanya meredakan ya, bukan mengobati," tegas dr Meta Hanindita SpA dari RSUD Dr Soetomo Surabaya saat berbincang dengan detikHealth.
Untuk pemberian bahan rumahan seperti itu guna meredakan batuk anak, dr Meta menyarankan sebaiknya berikan ketika anak sudah berusia di atas satu tahun. Dikutip dari Mayo Clinic, James M Steckelberg MD mengatakan dalam sebuah studi, ditemukan manfaat konsumsi teh atau air lemon hangat yang dicampur dengan madu.
Dalam studi terhadap 270 anak itu, disebutkan Steckelberg anak-anak usia 2 tahun ke atas dengan infeksi saluran pernapasan memiliki kualitas tidur yang lebih baik dan intensitas batuknya berkurang setelah diberi sampai 2 sendok teh madu sebelum tidur. Dalam studi tersebut juga disebutkan bahwa efek madu hampir serupa dengan penekan batuk pada umumnya yakni dekstrometorfan.
Baca juga: Mengatasi Hidung Tersumbat pada Bayi, Perlukah Ingus Disedot Orang Tuanya?
"Tapi jangan berikan madu ini untuk anak di bawah satu tahun agar tidak terjadi botulisme, keracunan makanan yang jarang tapi berakibat fatal bagi bayi. Patut diingat pula bahwa batuk tidak selamanya buruk. Sebab, pada dasarnya, batuk membersihkan lendir di saluran napas," kata Steckelberg.
Sementara, Alan Rosenbloom, MD, dokter anak di Baldwin, New York menegaskan madu, lemon, atau jeruk nipis bisa menjadi bagian perawatan pendukung untuk meredakan batuk dan pilek anak. Ada terdapat beragam jenis madu dan sebaiknya, pilihlah madu yang cocok dengan anak.
"Namun, jika anak mengalami demam berkepanjangan, batuk makin parah, lalu batuk pilek tidak kunjung sembuh dalam dua minggu, baiknya segera periksa ke dokter," kata Rosenbloom.
Baca juga: Uhuk.. uhuk.. Batuk Tapi Tak Ada Dahaknya
(rdn/up)
Peneliti Dr Janne Tolstrup dari University of Southern Denmark, Copenhagen, mengatakan terlalu banyak duduk dan kurang olahraga berperan besar dalam meningkatkan risiko terserang diabetes tipe 2, terutama bagi orang-orang yang kelebihan berat badan atau obesitas.
Kabar baiknya, risiko ini juga dipengaruhi oleh frekuensi olahraga dan berat badan. Dr Tolstrup mengatakan risiko diabetes bisa berkurang jika aktivitas fisik diperbanyak meskipun waktu duduk lebih dari 8 jam per hari.
Baca juga: Studi: Pria dengan Psoriasis Lebih Rentan Alami Disfungsi Ereksi
"Jika Anda memiliki berat badan normal dan tidak mungkin menghindari duduk terlalu lama karena pekerjaan, usahakan diri Anda untuk lebih aktif bergerak di waktu senggang. Hal ini dapat mengurangi risiko terserang diabetes," tutur Dr Tolstrup, dikutip dari Reuters, Kamis (24/3/2016).
Studi Dr Tolstrup dilakukan kepada 72.000 orang. Kebiasaan duduk dan jam kerja mereka dipantau selama periode 2007 dan 2008. Lima tahun kemudian, Dr Tolstrup dan timnya mengecek risiko diabetes partisipan.
Kurang lebih 50 persen partisipan duduk selama 6,3 jam per hari. Ditemukan juga bahwa mereka yang duduk lebih dari 10 jam per hari biasanya berumur muda, berpendidikan tinggi, kurang aktivitas fisik dan memiliki kelebihan berat badan.
Hasil penelitian menemukan bahwa mereka yang duduk lebih dari 10 jam per hari berisiko lebih tinggi 15 persen mengidap diabetes daripada mereka yang duduk kurang dari 6 jam per hari. Peneliti menyebut berat badan dan aktivitas fisik sangat berpengaruh terhadap peningkatan risiko.
Baca juga: Diet Kalori Dapat Membantu Meringankan Penderitaan Pasien Diabetes
(mrs/up)
"Terapi biomedik termasuk diet bebas kasein, bebas gluten, bebas gula, hiperbarik, vitamin dan suplemen seperti vitamin B6, B12, magnesium, dan omega free fatty acid belum didukung bukti ilmiah yang kuat untuk direkomendasikan sebagai pengobatan gangguan sindrom autistik (GSA)," tegas psikiater anak dan remaja di Klinik Tumbuh Kembang & Edukasi Terpadu RS Pondok Indah, dr Ika Widyawati SpKJ(K).
Dalam temu media di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2016), dr Ika mengatakan terapi biomedik seperti itu hanya direkomendasikan untuk kepentingan penelitian dan belum diaplikasikan secara klinis. Meskipun begitu, diet khusus dikatakan dr Ika boleh-boleh saja dilakukan jika memang anak memiliki alergi.
"Makanya perlu tes alergi aja. Kan kalau kita alergi pada makanan tertentu bisa jadi gelisah, merinding, dan nggak nyaman kan," kata dr Ika.
Baca juga: Kenali, Ini Gejala Autisme pada Anak-anak
Ia menekankan, terapi yang didukung dengan evidence based untuk kasus GSA adalaj terapi perilaku dan farmakoterapi yang spesifik seperti risperidone dan aripiprazole yang sudah disetujui FDA untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku berat yang menyertai GSA.
Sementara, terapi perilaku Applied Behavior Analysis (ABA) dikatakan dr Ika masih perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya dan disarankan melakukan analisis fungsional perilaku secara individual. Semua terapis, kata dr Ika boleh menguasai ini harus dianalisis dulu apalah anak memang memerlukan terapi ini.
"Terapinya sekali lagi tergantung kebutuhan. Untuk memperbaiki sensori integrasinya dulu misalnya ada ruang Snoezelen di mana suasana gelap dan anak dilatih suara dan rasa. Kemudian ada terapi wicara, okupasi untuk motorik halus dan edukasi. Semua terapi itu disertai terapi perilaku. Ada pula terapi keluarga dari psikolog. Sekali lagi sesuai dengan kondisi anak," papar dr Ika.
Makin dini dilakukan, maka akan lebih baik bagi anak. Sebab, tujuan dilakukannya terapi ini yaitu mengurangi masalah perilaku yang tidak sesuai, meningkatkan kemampuan belajar anak terutama kemampuan berbahasa, kemudian memininalisir serta menghilangkan perilaku yang paling mengganggu seperti disruptif (agresif, temper tantrum, hiepraktif) dan juga mengatasi insomnia.
"Perilaku disruptif menjadi masalah besar untuk ortu atau guru. Kalau nggak diperbaiki bisa kewalahan. Insomnia juga mengganggu pastinya, anak malam nggak bisa tidur padahal besok paginya si orang tua harus bekerja. Kan itu mengganggu," tutur dr Ika.
Baca juga: Pesan Dokter untuk Orang Tua Ketika Anak Didiagnosis Autisme(rdn/up)
Untuk itu, ketika ada orang tua yang mengonsultasikan anaknya, psikiater anak dan remaja di Klinik Tumbuh Kembang & Edukasi Terpadu RS Pondok Indah, dr Ika Widyawati SpKJ(K) mengatakan dirinya melihat kondisi si anak sekilas dan nomor satu yang saat itu lebih penting adalah bagaimana kondisi orang tuanya.
"Perlu dilihat bagaimana orang tua menghadapi emosinya. Baiknya jangan menyangkal karena memang kondisi anak seperti itu. Bicara seperti ini saya akui memang gampang tapi penting juga bagi orang tua untuk bisa menguasai perasaan dia dulu," kata dr Ika dalam Temu media di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2016).
Jika kondisi emosi orang tua tidak stabil, tidak dapat menerima mengapa anaknya seperti itu, dikatakan dr Ika kapan anak akan diterapi. Emosi yang tidak stabil juga bisa membuat orang tua shoping doctor di mana memeriksakan anaknya ke banyak dokter. Padahal, menurut dr Ika justru itu bakal membuang energi, biaya, dan waktu. Sebaiknya, konsultasikan anak pada dokter yang memang menanganinya sejak awal.
Baca juga: Kenali, Ini Gejala Autisme pada Anak-anak
Jika orang tua sudah mampu menghadapi emosinya, selanjutnya perlu untuk menghadapi fakta bahwa hidup tetap berjalan dan tidak bisa mengulang masa lalu. dr Ika juga menekankan pentingnya agar orang tua tidak memiliki perasaan bersalah.
"Tutuplah masa lalu dan buka lembaran baru. Anak ini mau diapakan gitu lho. Sadari pula bahwa anak butuh support. Kalau orang tua sibuk coba sempatkan tanya langsung ke terapis atau dokternya gimana progres anak. Jangan melulu semuanya diserahkan pada si mbak. Lalu konsultasi lah ke orang yang kompeten. Jadilah orang tua yang cerdas, sehat jiwa raga dan selalu berpikir positif," lanjut dr Ika.
Jika kakak atau adik si anak tidak autisme, dr Ika menekankan jangan pisahkan mereka. Biarkan mereka dekat sedari kecil sehingga si kakak atau adik paham bagaimana kondisi saudaranya itu. Bukan tanpa alasan, dr Ika menegaskan hal itu penting dilakukan karena nanti saat si anak dengan autisme ini besar, pasti saudaranya yang akan mengurusnya ketika kelak kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Baca juga: Jelang Usia 2 Tahun Tapi Anak Belum Bicara Lancar? Mungkin Ini Sebabnya (rdn/up)
| Ilustrasi air minum dalam kemasan |
Namun tahukah Anda, keduanya punya dampak negatif bagi kesehatan? Memainkan ponsel, menurut seorang pakar kesehatan bisa menularkan kuman-kuman yang berasal dari kotoran manusia.
Kuman-kuman dari jamban berhamburan bersama percikan air saat kotoran di-flush. Semua benda yang ada di dalam bilik toilet bisa terkena percikan tersebut, dan menjadi sarang kuman.
"Saat Anda nge-flush toilet, air dengan feses dan urine akan menyebar hingga 6 kaki (hampir 2 meter) ke berbagai arah," kata seorang profesor mikrobiologi, Charles Gerba, seperti dikutip dari Mirror, Kamis (31/3/2016).
Baca juga: Dianggap Malu-maluin, Sembelit Jarang Diperiksakan ke Dokter
Permukaan ponsel juga bisa terkontaminasi dari jemari yang memegang gagang pintu maupun sekat atau dinding toilet. Setelah BAB, cuci tangan menjadi tidak berarti karena sesudahnya tetap akan memegang permukaan ponsel yang sudah mengandung kuman.
Bagaimana dengan membaca buku? Selain risiko terkontaminasi kuman, rupanya ada risiko lain pada orang-orang yang punya kebiasaan BAB sambil baca buku. Pakar kesehatan dari Bnai Zion Medical Centre, Ron Shaoul, penah melakukan penelitian tentang kebiasaan ini.
Berdasarkan temuan Shaoul, orang-orang yang BAB sambil membaca buku cenderung menghabiskan waktu di toilet lebih lama dibandingkan tanpa membaca buku. Dampaknya, orang-orang tersebut lebih banyak mengalami haemorrhoid atau ambeien.
Baca juga: Tingkat Perkosaan di Banyak Negara Berhubungan dengan BAB Sembarangan (up/vit)
Peneliti dari St Michael's Hospital, Kanada, Dr Russell de Souza, menyebutkan bahwa mengonsumsi banyak kacang-kacangan termasuk buncis dan lentil dapat membantu proses penurunan berat badan Anda. Selain memiliki rasa yang enak, kacang juga dikenal rendah lemak.
Menurut Russell, mengonsumsi 130 gram atau sekitar tiga perempat cangkir kacang setiap hari dapat membantu program penurunan berat badan Anda.
"Makan kacang membantu menjaga kita merasa kenyang lebih lama. Sehingga keinginan untuk ngemil makanan lainnya pun menjadi berkurang," pungkas Russell, seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (31/3/2016).
Baca juga: Kebiasaan Bawa Ponsel Saat BAB di Toilet? Ini Efeknya Bagi Kesehatan
Dalam studi ini, para ilmuwan menganalisis data dari 21 uji klinis yang melibatkan 940 responden pria dan wanita. Peneliti menemukan bahwa menambahkan satu porsi kacang dalam diet membuat berat badan responden turun rata-rata 0,34 kg selama enam pekan.
"Meskipun penurunan berat badan yang terjadi angkanya kecil, temuan kami menunjukkan bahwa menambahkan kacang-kacangan dalam diet sehari-hari juga dapat membantu program penurunan berat badan," imbuh Russell.
Penelitian sebelumnya tentang efek konsumsi kacang terhadap berat badan juga menunjukkan bahwa konsumsi asupan tersebut meningkatkan perasaan kenyang hingga 31 persen.
Kacang-kacangan juga dikatakan baik untuk jantung, karena mereka secara signifikan dapat menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah. Selain itu, kacang juga memiliki indeks glikemik rendah. Ini berarti mereka dicerna secara perlahan dan tidak menyebabkan lonjakan insulin yang membahayakan tubuh.
Penelitian ini telah dipublikasikan dalam The American Journal of Clinical Nutrition.(ajg/up)
Achi (Wanita, 27 tahun)
achi1503XXXXX@gmail.com
Tinggi 154 cm, berat 42 kg
Jawaban
Untuk penyimpanan ASIP, diperlukan wadah bersih yang dapat ditutup rapat, bisa berupa botol plastik, botol kaca, atau plastik ASIP. Lama penyimpanan disesuaikan dengan dimana ASIP tersebut disimpan, apakah di suhu ruangan (6-8 jam), cooler bag/ box (24 jam), kulkas (1-2 hari), freezer 1 pintu (2 minggu), freezer 2 pintu (3-6 bulan), atau deep freezer (6-12 bulan).
Namun yang paling baik diberikan kepada bayi adalah ASIP yang paling segar (fresh ASIP), yaitu ASIP yang sesuai atau paling mendekati usia bayi. Hal itu dikarenakan komposisi ASI yang selalu berubah seiring waktu sesuai kebutuhan bayi.
Untuk penyajian, ASIP tidak boleh dipanaskan di atas api. Bila ASIP beku, maka diturunkan dulu ke kulkas bawah hingga mencair, lalu dikeluarkan ke suhu ruangan. Bila ingin segera digunakan, bisa dihangatkan, namun cukup dengan merendam sebentar dalam air hangat hingga suhu yang diinginkan.
Yang penting juga dalam hal ini, pemberian ASIP tidak boleh menggunakan media dot karena dapat menyebabkan masalah menyusui, masalah pada ibu, maupun masalah pada bayi.
Untuk lebih jelasnya, bila ibu bekerja, ibu disarankan ke Klinik Laktasi bersama keluarga dan pengasuh untuk diajarkan manajemen laktasi pada ibu bekerja, diantaranya mengenai perah ASI, ASIP handling (penyimpanan dan penyajian), fresh ASIP, pemberian dengan gelas, dan semua tips-tips agar tetap lancar menyusui walaupun ibu bekerja. Namun bila ibu tidak bekerja, sebaiknya menyusui langsung saja tanpa perlu perah-perah dan memberikan ASIP pada bayi.
dr. Asti Praborini, SpA, IBCLC
Dokter Laktasi dan Ibu Menyusui di RS Permata, Depok
Ketua AKLII (Asosiasi Konsultan Laktasi Internasional Indonesia).
http://ift.tt/1NpGB52(hrn/up)
Psikiater anak dan remaja di Klinik Tumbuh Kembang & Edukasi Terpadu RS Pondok Indah, dr Ika Widyawati SpKJ(K) mengatakan gejala autisme di antaranya sampai usia 12 bulan anak tidak bisa menunjuk benda, bukan hanya menjentikkan telunjuk saja.
"Seringkali orang tua entah denial atau bagaimana, menjentikkan jari atau menarik tangan orang disebut menunjuk. Menunjuk itu ketika kita minta dia melihat benda lain, dia akan melihat ke arah kita dulu lalu melihat objek yang jauh, itu yang dinamakan joint attention, nggak ada pada anak autisme," tutur dr Ika dalam Temu media di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2016).
Kemudian, kemampuan bicara anak menghilang. dr Ika menceritakan ia memiliki pasien usia 1 tahun bisa bicara dan bernyanyi tapi tiba-tiba saat usia 20 bulan kata-katanya mulai hilang. Nah, kondisi seperti itu disebut merupakan tipe regresi di mana perkembangan anak yang awalnya baik perlahan menurun.
Baca juga: Jelang Usia 2 Tahun Tapi Anak Belum Bicara Lancar? Mungkin Ini Sebabnya
Gejala lainnya yakni anak tidak memberi respons saat dipanggil nama. Di usia 16 bulan pun anak autisme umumnya belum bisa mengucapkan satu kata pun. Padahal, di usia 10 bulan anak biasanya sudah mulai bubbling.
"Anak juga tidak bisa main pura-pura. Misalnya pulpen dijadikan anak panah atau pesawat gitu diterbangin. Kalau dipegang ya dipegang saja pulpennya," tambah dr Ika.
Memang gejala itu tidak harus muncul maksimal saat usia 36 bulan sebab saat anak berusia 38 bulan masih bisa disebut autisme. Sedangkan, jika gejala itu muncul di atas usia 5 tahun, hati-hati adanya gangguan lain seperti Skizofrenia masa kanak-kanak yang disertai dengan halusinasi suara atau penglihatan.
"Kalau anak menunjukkan gejala seperti itu, secepatnya dicek ke tenaga medis yang kompeten. Makin dini dideteksi makin bisa ditangani," pungkas dr Ika.
Baca juga: Berkat Bantuan Kucingnya, Bocah Autis Ini Bisa Bicara untuk Pertama Kali (rdn/up)
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) pasal 16F, disebutkan kenaikan iuran berlaku untuk peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah. Untuk kelas 1 rencana terakhirnya ada kenaikan dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu per bulan, lalu kelas 2 dari awalnya Rp 42.500 menjadi Rp 51 ribu, dan terakhir untuk kelas 3 ada kenaikan dari Rp 25.500 jadi Rp 30 ribu per bulan.
Namun Menkes Nila mengatakan setelah dilakukan rapat dengan pihak lain, rencana kenaikkan untuk kelas tiga tersebut kemungkinan akan dibatalkan. Alasannya karena pemerintah ingin menghindari sebisa mungkin semakin mempersulit beban ekonomi untuk masyarakat kelas bawah.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Menko PMK dan Dirut BPJS. Jadi Perpres 16 tetap dijalankan kecuali pasal yang untuk kelas tiga, tidak dinaikkan tetapi tetap yang Rp 25.500. Ini masih dikaji kembali," kata Nila saat ditemui pada acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2016 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis, (31/6/2016).
Baca juga: Buka Rakerkesnas 2016, Menkes Ingin Daerah Perkuat Puskesmas
Keputusan terakhir namun tetap di tangan presiden. Menkes Nila mengatakan pada intinya kenaikkan ini dilakukan agar mereka yang berkecukupan turut membantu mereka yang tak mampu dalam asas gotong royong. Bila hanya mengandalkan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah pusat saja, BPJS tak mampu menopang beban biaya kesehatan dan hal ini tampak dari rapot finansial yang tiap tahun defisit.
"Yang dinaikkan itu peserta mandiri yang memang terkadang mereka itu lebih ke kelas satu dan kelas dua, meski beberapa ada juga yang kelas tiga," kata Menkes Nila.
"Mereka diharapkan dapat membantu untuk BPJS. Ini kan sebenarnya asuransi sosial dari yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit. Gotong royong ini lah yang kami harapkan karena kalau bertumpu dari yang PBI saja akan timpang," pungkasnya.(fds/up)
Tumor tersebut terlihat begitu jelas di pipi kanan Lalao. Mulanya tumor itu memang kecil. Namun seiring waktu berlalu, tumor semakin besar. 14 Tahun kemudian, besarnya tumor hampir 5 kg dan membuat perempuan ini sulit menggerakkan kepalanya dan bahkan sering susah tidur.
Mulanya Lalao beranggapan benjolan di wajahnya bisa menghilang dengan sendirinya. Apalagi dia tidak merasa sakit. Lalao hanya menggunakan skarf untuk menutupi benjolan itu. Tapi ketika benjolan sudah begitu besar, tentu dia kesulitan menyembunyikannya dari pandangan orang.
Suatu kali Lalao pergi ke rumah sakit di Madagaskar untuk meminta bantuan menghilangkan tumor di wajahnya. Ia diminta membayar sekitar Rp 1,5 juta. Namun prosedur tidak segera dilakukan lantaran Lalao berada di antrean daftar tunggu. Demikian dikutip dari Daily Mail.
Baca juga: Berkat Postingan di FB, Mata Arya yang Bengkak Akibat Kanker Bisa Dioperasi
Namun Lalao kemudian diberi tahu bahwa dokter di RS tidak bisa mengoperasi dirinya. Uang yang telah dibayarkan tidak diterimanya kembali, bahkan dia diminta membayar 1,5 juta lagi untuk memasukkan namanya di daftar tunggu. Tapi lagi-lagi Lalao kemudian diberi tahu bahwa dokter bedah tidak bisa mengangkat tumornya.
Hal itu membuat Lalao hampir kehilangan harapan. Dia tidak punya cukup uang, sementara dia merasa tidak ada dokter yang sanggup mengatasi tumornya. Meski Lalao sudah putus asa, namun sang suami, Alfred, masih bertekad mencari pengobatan.
Harapan kembali menyeruak saat mereka mendapat kabar ada bayi di desa mereka yang tumornya bisa dihilangkan oleh tim dari Mercy Ships. Mercy Ships merupakan kapal layar rumah sakit yang antara lain beroperasi di Afrika, untuk memberikan layanan kesehatan gratis.
Akhirnya Lalao pun pergi ke Antananarivo, ibukota Madagaskar, untuk melakukan screening. Dia akan menjalani pengecekan apakah memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan. Namun ketika dia datang, antrean sudah berakhir. Dengan langkah gontai, Lalao pun pulang ke rumah.
Keesokan harinya, pukul 3 dini hari, Lalao kembali mengantre. Dengan datang lebih dini, harapannya akan mendapat nomor antrean lebih kecil. Nyatanya semua orang berpikiran sama. Kendati hari belum pagi benar, ratusan orang sudah mengantre.
"Ketika saya mengantre, ada sekitar 200 orang di depan saya, semuanya dengan ketidakmampuan dan dengan kondisi-kondisi yang belum pernah saya lihat sebelumnya," tutur Lalao.
Baca juga: Tumor Berusia 8 Tahun Bikin Perempuan Ini Tampak Seperti Hamil
Singkat cerita Lalao akhirnya disetujui untuk mendapat layanan pengobatan pada 30 November tahun lalu. Operasi pengangkatan tumor itu dilakukan langsung di atas kapal Mercy Ships yang berlabuh di Toamasina. Untuk membiayai transportasi menuju RS, keluarga Lalao menjual seekor babi.
Usai operasi digelar, betapa bahagia Lalao dan keluarganya. Sebab tumor besar itu sudah benar-benar pergi dari wajah perempuan berusia 50 tahun itu.
"Saya bahagia sekali. Saya sekarang sehat dan bisa menggerakkan leher saya," ucap lalao yang butuh dua pekan untuk pemulihan pasca operasi.
Lalao pun berencana untuk kembali mengajar dan mengurus peternakannya setelah kesehatannya benar-benar pulih.(vit/up)
Aktor Wentworth Miller, yang terkenal melalui serial televisi Prison Break, mengalami hal tersebut. Dalam surat terbukanya di Facebook, ia mengaku sempat mengalami depresi pada tahun 2010 dan hampir saja melakukan bunuh diri.
"Pada tahun 2010, dalam titik terendah hidupku, aku mencari kenyamanan, rasa aman dan pengalihan ke mana-mana. Aku melampiaskan depresiku ke makanan, yang menurutku lebih baik daripada alkohol, narkoba atau seks. Akibatnya, aku menjadi semakin gemuk." tulis Wentworth dalam surat terbukanya di Facebook, baru-baru ini.
Baca juga: Kisah sang Aktor Hollywood Bergulat dengan Depresi Seorang Diri
Dikisahkan Wentworth, ia sudah berjuang melawan depresi sejak kanak-kanak. Depresi membuatnya kehilangan kesempatan, persahabatan dan mengganggu tidurnya. Depresi tersebut berlanjut hingga ia dewasa dan aktif sebagai aktor.
Dalam surat tersebut, Wentworth juga menyertakan meme yang meledek berat badannya. Meme tersebut membandingkan Wentworth yang kala itu berperan sebagai Michael Scofield dengan tubuh langsing dan penuh tato dengan dirinya pada tahun 2010 yang gemuk.
|
|
"Di tahun itu aku sedang berjuang melawan setan yang ada di dalam diriku. Aku hampir bunuh diri dan tenggelam dalam depresi. Dan foto itu adalah hal terakhir yang aku perlukan. Aku hampir saja menghancurkan diriku sendiri," urainya aktor berusia 43 tahun tersebut.
Namun harapan tak hilang dari benaknya. Melalui serangkaian kejadian hidup dan bantuan orang-orang terdekat, Wentworth akhirnya keluar dari jerat depresi. Bahkan ia kembali aktif menjadi aktor dan bermain di beberapa serial televisi.
Menurut Wentworth, melihat fotonya yang bertubuh gemuk memang terasa menyakitkan. Namun dibalik itu ada hikmah yang bisa diambil. Foto tersebut merupakan bukti bahwa ia pernah jatuh dan kembali bangkit dalam menjalani kehidupan.
Baca juga: Pernah Depresi, Bintang Serial TV Ini Kampanyekan Kesadaran Kesehatan Mental
Terakhir, ia berpesan kepada pengidap depresi untuk tidak ragu-ragu mencari bantuan. Depresi membuat seseorang menjauh dari lingkaran sosial, namun ia yakin ada orang lain yang siap mengulurkan tangan dan membantu mereka untuk mengatasi penyakitnya.
"Jika kamu atau orang yang kamu kenal sedang berjuang melawan depresi, percayalah pertolongan itu ada. Ambil ponsel kalian, kirim pesan, email atau telepon orang terdekat. Seseorang di luar sana sedang menunggumu untuk menghubunginya. Dan mereka akan dengan sangat senang hati membantumu melawan depresi," tutupnya.(mrs/up)
Ya, dari semula 75 kg, setelah tiga bulan berat badan Indah turun menjadi 58 kg. Dengan tinggi badan 160 cm, ia pun kini bisa tampil lebih percaya diri. Simak cerita dietnya, seperti ditulis detikHealth pada Kamis (31/3/2016):
Baca juga: Berkat Diet OCD dan Rajin Joging, Berat Badan Rama Turun 11 Kg!
Sebelumnya saya sadar kalau tubuh saya sangat gemuk, tapi jujur saja saya belum terpikir untuk menurunkan berat badan. Sampai akhirnya saya disadarkan oleh mantan saya untuk menurunkan berat badan.
Saat itu pun saya sempat mengelak dan berpikir untuk apa saya berdiet, karena saya merasa baik-baik saja. Akhirnya mantan saya memberitahu saya bahwa itu untuk kesehatan saya sendiri. Saya pun kemudian baru berniat untuk menurunkan berat badan.
Saya sempat mencoba berbagai jenis program diet, mulai dari konsumsi obat-obatan penurun berat badan, diet Mayo, sampai diet OCD. Tapi saya kok merasa tidak ada perubahan pada tubuh saya.
Akhirnya saya mencoba untuk sering berkunjung ke tempat fitness dan aerobik. Saya juga mengurangi porsi makan saya secara bertahap, tidak lagi makan terlalu banyak. Setelah tiga bulan, berat saya yang awalnya 75 kg turun menjadi 58 kg dengan melakukan fitness dan aerobik secara rutin.
Senang sekali baju dan celana saya yang awalnya sudah tidak muat bisa dipakai kembali. Saya juga membandingkan hasil foto saya sebelum menjalankan program penurunan berat badan dan sesudah menjalankan program, hasilnya tampak berbeda. Sekarang saya pun memutuskan untuk meneruskan pola hidup tetap seperti itu agar berat badan saya tidak bertambah lagi.
Baca juga: Begini Cara Irsyan Turunkan Bobot 10 Kg di Usianya yang Menginjak 40 Tahun
(ajg/up)
Menkes Nila mengapresiasi kinerja daerah yang telah mensukseskan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada awal Maret lalu. Sebanyak 20 provinsi telah melebih target dengan cakupan vaksinasinya di atas 95%, lalu ada 11 provinsi yang cakupan vaksinasinya 80-95%, dan 2 provinsi yang cakupannya di bawah 80%.
"Ada dua provinsi yang masih di bawah 80% yaitu Papua dan NTT (Nusa Tenggara Timur -red). Kami mengharapkan daerah yang pencapaiannya di bawah 80% agar tetap melanjutkan sweeping dengan melibatkan lintas sektor sampai dengan 3 April," kata Nila ketika membuka acara di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (31/3/2016).
Pelibatan lintas sektor ini diperjelas lagi oleh Nila dengan semakin memperkuat pelayanan kesehatan primer. Bila sebelumnya Kementerian Kesehatan berusaha mencapai hal itu dengan program pengiriman tenaga kesehatan ke daerah bernama Nusantara Sehat, maka ke depannya program yang akan dicanangkan adalah Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) dan Keluarga Sehat.
Baca juga: Pemberian ASI Vs Akses Pornografi
Nila mengatakan Germas dan Keluarga Sehat adalah program kesehatan di mana fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas diminta untuk proaktif melakukan pendekatan keluarga. Artinya tenaga kesehatan tak menunggu masyarakat datang ketika sakit saja tapi harus aktif menghampiri masyarakat dalam hal ini unit keluarga dan melakukan upaya-upaya promosi kesehatan.
"Dari data yang diklaim oleh BPJS ternyata memang penyakit-penyakit katastropik seperti jantung, diabetes, kanker, dan gagal ginjal cukup banyak. Kalau kita tidak menggesernya ke arah preventif promotif masyarakat akan terus menerus terlena menjadi jatuh sakit," kata Nila.
"Kalau kita lihat di fasilitas kesehatan primer sekarang orang masih banyak datang dalam keadaan sakit, padahal kita inginnya orang datang dalam keadaan yang sehat dan mengecek kesehatannya. Karena itu road map Kementerian Kesehatan mendorong kembali ke arah pendekatan keluarga," lanjutnya.
Kepada para kepala dinas kesehatan daerah, Nila menyebut agar upaya promosi kesehatan di masyarakat ke depan fokus pada tiga kegiatan terlebih dahulu. Pertama tingkatkan aktifitas fisik masyarakat, promosikan konsumsi sayur dan buah, serta perkuat cakupan deteksi dini penyakit tidak menular.(fds/up)
"Tantangan terbesar untuk endometriosis adalah diagnosis di fase awal, karena gejala yang tidak pasti. Memang, paling banyak pasien dengan endometriosis yakni sekitar 80 persen datang dengan nyeri haid," kata dr Hari Nugroho yang merupakan salah satu pendiri GMITS (Gynecologic Minimally Invasive Treatment Surabaya-www.trust-gmits.com), dalam perbincangan dengan detikHealth.
Tapi, dr Hari menegaskan belum pasti semua pasien endometriosis mengeluh nyeri haid. Untuk itu, pada bulan Maret ini yang merupakan endometriosis awareness month diharapkan paling tidak bisa dilakukan kampanye untuk meningkatkan awareness tentang nyeri haid.
Pasalnya, menurut dr Hari, sebagian besar pasien endometriosis sebetulnya dapat terdiagnosis lebih cepat dan dapat penanganan lebih baik, jika mereka peduli dengan gejala tak biasa yang dialami. Dokter yang praktik di RSUD Dr Seotomo Surabaya ini menambahkan, di GMITS, endometriosis menjadi penyakit yang paling banyak ditangani tim medis di sana.
Baca juga: Hal-hal Seputar Endometriosis yang Masih Dipercaya, Padahal Cuma Mitos
Lebih dari separuh pasien yang ditangani merupakan pasien endometriosis. Dikatakan dr Hari, banyak sekali kasus endometriosis yang ditangani namun sudah pada derajat berat. Bahkan, ada yang sudah menjalar ke organ sekitarnya, seperti sudah mencapai saluran tuba kanan dan kiri sampai mengalami kebuntuan dan tidak dapat diperbaiki.
"Ada satu kasus dari Kalimantan di mana endometriosisnya sampai menutup saluran kencing kanan dan kiri dan akibatnya ginjalnya membengkak. Ada juga yang sudah menembus usus, sehingga menimbulkan perdarahan di usus," kata dr Hari.
Untuk itu, dr Hari mengingatkan untuk tidak menganggap sepele gejala endometriosis di antaranya nyeri haid, nyeri panggul, nyeri saat bercinta, ada keluhan pencernaan seperti konstipase atau diare, nyeri saat buang air besar, nyeri saat berkemih, sulit punya anak, mengalami keluhan berkemih, dan ada tumor indung telur (kista ovarium).
Baca juga: Bila Tak Diobati, Endometriosis Bisa Juga Tingkatkan Risiko Sakit Jantung
(rdn/up)
Seperti disampaikan oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Divisi Fetomaternal RSU Dr Soetomo Surabaya dan RS Pendidikan Universitas Airlangga, dr Khanisyah Erza Gumilar, SpOG, pemeriksaan darah memang dianjurkan, misalnya seperti tes TORCH, tes hepatitis B dan tes HIV/AIDS.
"TORCH menjadi pemeriksaan yang lazim dilakukan pada pasangan yang ingin merencanakan kehamilan. Deteksi dini kelainan dan penyakit dapat diterapi terlebih dahulu sebelum seorang wanita menjadi hamil," tutur dr Erza kepada detikHealth.
Sementara itu, pemeriksaan Hepatitis-B dan HIV/AIDS menurut dr Erza wajib dilakukan oleh ibu hamil terkait dengan risiko penularan vertikal. Risiko ini berarti kondisi tersebut bisa ditularkan dari ibu ke bayi. Ditemukannya diagnosis tersebut (jika ada) juga sekaligus menentukan terapi tambahan yang harus dijalani selama kehamilan.
Baca juga: Ingat! Susah Punya Anak, Masalah Utamanya Tak Melulu dari Pihak Istri
Selain pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, skrining rutin juga perlu dilakukan oleh wanita yang berisiko tinggi preeklampsia. Faktor risiko tersebut di antaranya memiliki riwayat keluarga dengan preeklampsia, jarak antar kehamilan lebih dari 10 tahun, hamil kembar dua, berusia 35 tahun ke atas saat hamil, serta memiliki indeks massa tubuh lebih dari 30.
"Kontrol rutin selama hamil dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi preeklampsia sekaligus deteksi dini preeklampsia," terang dr Erza.
Ia menegaskan, di Indonesia sebaiknya digalakkan 'proconceptional counseling', yakni konseling dan pemeriksaan kesehatan sebelum kehamilan. Ini supaya masing-masing pasangan bisa memahami risiko hamil itu sendiri, sekaligus memeriksa kondisi kesehatan sesuai dengan faktor risiko yang dimiliki.
Contoh beberapa kondisi yang membuat pasangan dianjurkan melakukan pemeriksaan sebelum hamil dan atau selama hamil:
1. Tes rhesus (pada perkawinan ras campuran, umumnya orang Indonesia memiliki rhesus yang berbeda dengan ras kulit putih)
2. Wanita dengan thalassemia
3. TORCH
4. HIV/AIDS dan Hepatitis B
5. Wanita dengan risiko tinggi preeklampsia
6. Wanita dengan usia >35 tahun
7. Wanita dengan penyakit jantung bawaan
Baca juga: Kondisi Ibu yang Seperti Ini Pengaruhi Bobot Bayi Saat Lahir
(ajg/up)
Para ilmuwan dari University of Tokyo memutar otak agar kelezatan makanan tidak mengganggu kesehatan. Hasilnya, lahirlah garpu listrik untuk menggantikan garam. Sengatan listrik di lidah diklaim bisa memberi sensasi rasa asin tanpa meningkatkan tekanan darah.
"Ini adalah SEBUAH teknologi yang memungkinkan listrik dipakai sebagai penyedap rasa," kata Hiromi Nakamura, ilmuwan yang turut menggagas proyek 'No Salt Restaurant', dikutip dari Dailymail, Rabu (30/3/2016).
Garpu yang baru tersedia dalam bentuk prototipe ini menggunakan baterai agar bisa berfungsi. Baterai bisa tahan hingga 6 jam dan bisa diisi ulang.
Baca juga: Tidur Siang Lebih dari 40 Menit, Risiko Sindrom Metabolik Meningkat
Cara menggunakannya persis seperti garpu biasa. Bedanya, saat masuk ke mulut ada tombol yang harus ditekan. Saat tombol tersebut ditekan, aliran listrik akan diaktifkan dan lidah akan merasakan sensasi rasa asin walau makanannya tidak mengandung garam.
Penggunaan listrik untuk stimulasi indra pengecap sebenarnya bukan hal yang baru. Tahun 1976, sebuah penelitian di European Journal of Physiologi telah membuktikan efek listrik pada kemampuan lidah mengecap rasa.
Belakangan ini pula, sekelompok ilmuwan dari National University of Singapore menciptakan 'lolipop digital'. Serupa dengan garpu listrik, lolipop digital juga memanfaatkan aliran listrik untuk memberikan stimulasi rasa tertentu di lidah.
Baca juga: Perawat dengan Hipertensi Berisiko Tinggi Terkena Serangan Jantung (up/up)
Prof Li Zhang, Professor of Medical Oncology dari Sun Yat Sen University Center Guangzhou menjelaskan, lebih dari separuh kasus kanker paru dunia ditemukan di Asia.
"Lebih dari 51,4 kasus kanker paru dunia terjadi di Asia," paparnya kepada wartawan dalam Boehringer Ingelheim Oncology Regional Media Conference, di Seoul, Korea Selatan baru-baru ini.
Di Asia sendiri, kasus terbanyak ditemukan di Asia Timur. Urutan negara dengan kasus kanker paru tertinggi di Asia adalah Taiwan (47,6 per 100.000 orang); Korea Selatan (44,2 per 100.000 orang); China (36,1 per 100.000 orang); Korea Utara (28;8 per 100.000 orang); dan Jepang (24,6 per 100.000 orang).
Baca juga: Studi: 2 dari 5 Ibu Kembali Merokok Sesaat Setelah Melahirkan
Namun bukan berarti kawasan Asia lainnya tidak dihantui penyakit ini. Data GLOBOCAN juga menunjukkan adanya kenaikan tren di Asia Tenggara dan Asia Tengah. Armenia (35,9 per 100.000 orang); Kazakhstan (27,9 per 100.000 orang); dan Israel (21,2 per orang) tercatat sebagai penyumbang terbesar.
Sedangkan di Asia Tenggara, gambaran trennya hampir mirip dengan di Asia Timur, yaitu lebih merata. Mulai dari Singapura (24,9 per 100.000 orang); Thailand (20,9 per 100.000 orang); Filipina (19,3 per 100.000 orang); Malaysia (17,9 per 100.000 orang) dan tak ketinggalan Indonesia dengan insidensi mencapai 16,3 per 100.000 orang.
Menurut data WHO 2014, insidensi kanker pada pria Indonesia untuk jenis kanker paru-paru mencapai 25.322 orang dengan profil mortilitas sebesar 21,8 persen atau 103.100 orang, dan wanita sebanyak 9.374 orang dengan profil mortilitas 9,1 persen atau 92.200 orang. Sebagian besar disebabkan oleh tingkat konsumsi rokok Indonesia merupakan tiga besar dunia untuk kanker paru akibat kegiatan merokok aktif maupun pasif.
"Dari data GLOBOCAN, telah terjadi kenaikan sebesar 22 persen dan angka ini diperkirakan akan terus bertambah di tahun 2020," tegas Zhang.
Baca juga: Pendekatan Terbaik Stop Merokok: Berhenti Total Tiba-tiba
Belum lagi bila penyakit ini tak segera tertangani. Tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan kematian. Dalam kesempatan terpisah, Gerd Stehle, MD, PhD, Vice President Medicine Therapeutic Area Oncology Boehringer Ingelheim mengungkapkan sebagian besar kasus kanker paru yang ditemukan sudah berada pada advanced stage atau stadium lanjut, sehingga peluang hidupnya menjadi kecil.
"20,8 kematian di Asia diakibatkan oleh kanker paru. Itu nomor satu untuk penyebab kematian pria dan nomor dua untuk wanita," imbuh Zhang.
Cancer.org mencatat, kebiasaan merokok masih menjadi faktor risiko teratas dari kanker paru, diikuti oleh paparan asbestos, radon dan polutan udara seperti yang terjadi di China, dan sebagian kecil disebabkan oleh riwayat kanker yang ada dalam keluarga. Namun memiliki riwayat tidak berarti akan membuat seseorang terserang kanker. Hanya saja paparan rokok, baik aktif maupun pasif dapat memperbesar risikonya.(lll/up)
[unable to retrieve full-text content]
Hal ini ditemukan para ilmuwan di University College London, Inggris, yang melakukan eksperimen kepada 45 partisipan. Dengan simulasi permainan partisipan diminta untuk memilih batu-batu virtual secara acak yang beberapa di antaranya tersembunyi ular.
Tujuan dari permainan adalah agar partisipan mengira-ngira batu mana yang ada ularnya. Bila batu yang dipilih kebetulan ada ular maka sebuah sengatan listrik akan dialirkan untuknya.
Baca juga: Bisa Gelitiki Diri Sendiri, Pertanda Gangguan Jiwa Mirip Skizofrenia
Permainan dirancang agar semakin tinggi tingkat kesulitannya maka semakin tinggi pula tingkat ketidakpastian yang ditimbulkan. Selama bermain partisipan juga diukur tingkat stresnya oleh peneliti lewat pelebaran pupil, keringat, dan laporan langsung dari partisipan sendiri.
"Hasilnya ternyata jauh lebih buruk ketika Anda tidak tahu kapan Anda akan mendapatkan sengatan listrik daripada saat Anda tahu pasti. Kami melihat ada efek psikologikal yang sama: orang jadi berkeringat lebih banyak, pupilnya melebar lebih besar semakin kondisinya tak pasti," kata pemimpin studi Archy de Berker seperti dikutip dari Medical News Today pada Kamis (31/3/2016).
Respon stres yang diberikan partisipan karena ketidakpastian disebut peneliti bahkan lebih besar dari respon stres sakit akibat disetrum itu sendiri.
Peneliti mengatakan hal ini kemungkinan berhubungan dengan evolusi. Ketika manusia jaman dulu dihadapkan dengan situasi darurat yang penuh ketidakpastian, respon stres bisa membantu individu untuk bertahan hidup.
Baca juga: Bukan Hanya Soal Pikiran, Depresi Juga Pengaruhi Keseluruhan Sistem Tubuh
(fds/up)
Ya, kondisi seperti ini bisa jadi hanya keinginan untuk ngemil semata, bukan karena tubuh benar-benar sedang lapar dan membutuhkan asupan kalori. Jika tidak dikenali dan diatur dengan baik, berat badan bisa diam-diam melonjak naik.
Seperti disampaikan oleh penulis 'Eating Mindfully', Susan Albers, Psy.D, bahwa kondisi ini lebih seringnya disebabkan oleh kebiasaan tidak fokus saat makan atau makan sambil melakukan aktivitas lain.
Dalam sebuah penelitian, mereka yang sering melakukan kebiasaan seperti ini 34 persen lebih berisiko mengalami kegemukan, dibandingkan dengan mereka yang benar-benar menyediakan waktu khusus untuk makan dan fokus melahap makanannya tanpa aktivitas lain.
Baca juga: Takut Stres Bikin Gemuk? Atasi dengan Pola Makan Seperti Ini
"Agar kondisi serupa tidak terjadi, langkah pertama yang bisa Anda lakukan adalah kenali perbedaan antara rasa lapar fisik dan emosional semata," tutur Albers, seperti dikutip dari Men's Health, Rabu (30/3/2016).
Menurut Albers, tanda bahwa Anda benar-benar sedang lapar di antaranya rasa lapar datang bertahap dan rasa lapar terasa di area perut. Selain itu, saat Anda benar-benar sedang lapar biasanya makanan apapun bisa Anda konsumsi tanpa memilih. Setelah makan, Anda akan merasa kenyang dan tidak ingin makan lagi.
"Sementara jika Anda hanya lapar 'sesaat', keinginan untuk makan tersebut datang tiba-tiba dan spesifik hanya pada satu jenis makanan saja," pungkas Albers.
Orang-orang ini juga cenderung lebih mau mengonsumsi makanan berkalori tinggi atau manis, sehingga rasa kenyang pun sulit dikenali dan lapar datang terus-menerus. "Lapar sesaat seperti itu biasanya muncul ketika seseorang sedang sedih, bosan atau frustrasi," ujar Albers.
Ia berpesan, sebaiknya Anda menghindari aktivitas lain saat makan, termasuk bekerja, membuka email, atau bahkan menonton televisi. Hal ini dapat membuat Anda menjadi tidak fokus merasakan makanan. Efeknya, Anda menjadi tidak bisa mengenali rasa kenyang dan lapar sesaat pun cepat datang kembali.
(ajg/up)
[unable to retrieve full-text content]